RSS

Tag Archives: pemimpin negeri

Sungguh malang nasib negara ini!

Pada masa-masa abad pertengahan, banyak pasukan perang yang terdiri dari barisan yang disebut ‘tentara bayaran’. Mereka tentara yang berperang hanya demi meraup bayaran uang dan keuntungan duniawi. Berperang, bagi mereka hanyalah profesi dan keahlian. Tidak penting bagi mereka mengalahkan musuh, karena yang terpenting berapa banyak rampasan perang yang dapat dikantongi, berapa banyak larangan yang telah mereka langgar, dan berapa cacian telah mereka muntahkan. Tidak soal bagi mereka apa tujuan dan misi perang yang diterjuni, tapi yang penting berapa bayaran yang diterima. Tidak ada dalam kamus mereka motivasi perang demi tanah air, apalagi prinsip ataupun iman. Mereka tidak pernah berpikir dalam peperangan ada sesuatu yang pantas dikorbankan atau dicurahkan segenap jiwa dan raga, yang mereka tahu dan lihat hanya kesenangan pribadi semata.
Bayangkan saja, jika pemegang dan pelaksana kebijakan di negeri naas ini mempunyai banyak kemiripan dengan tentara-tentara bayaran itu. Kerja mereka sesungguhnya tak lebih dari mengharap sesuap nasi. Yang ada di benak mereka dan selalu mereka kejar hanyalah, harta rampasan dalam segala bentuk dan jenisnya, kekayaan, ketenaran, jabatan ataupun kebanggaan dan kehormatan. Mereka berpendapat, jalan yang terbaik yang aman untuk menghantarkan mereka pada harta rampasan ini adalah dengan berpura-pura membela negara. Semua mengatakan demi bangsa dan negara, berpidato dan menulis, serta menangis dan mengiba tangis. Mereka tak pernah berbuat lebih jauh lagi. Paling bagus hanya instruksi pada rakyat untuk melakukan kebijakan, namun sungguh tragis, mereka justru lupa menasehati diri sendiri.
Di sana tidak ada demonstran yang berteriak lantang kecuali mengharap ‘sesuatu’ di balik kelantangan suaranya, tidak ada orator yang berpidato berapi-api kecuali dia meminta ‘sesuatu’ di balik khutbahnya. Jauh di lubuk hati, mereka sama sekali tidak pernah memikirkan ucapannya. Yang terpenting bagi mereka adalah imbalan dan keuntungan pribadi yang dapat dikantongi dari ceramahnya itu. Mereka tak pernah berpikir untuk memberi sesuatu. Yang terpenting adalah tepuk tangan dan pujian massa, dirinyalah yang telah mendatangkan sesuatu yang dibutuhkan masyarakat. Jika disuruh memilih antara, pertama, menyumbangkan sesuatu yang benar-benar bermanfaat bagi rakyat, namun rakyat tidak tahu sumbangan itu dari siapa, dan yang kedua, rakyat tahu dialah pemberi sarana itu, namun sarana itu tak kunjung membuahkan manfaat, dapat diduga pastilah para pemimpin itu akan memilih yang terakhir.
Setiap pemimpin negeri ini lantang menyuarakan kampanye pemberantasan kemiskinan, penyakit dan kebodohan, sampai-sampai ketiga kata ini menjadi istilah yang paling terkenal dan sering mampir di bibir dan kuping. Meskipun demikian, ketiga kata tsb nyatanya tetap saja mewabah dan mencengkeram rakyat. Bukan karena apa-apa, melainkan lebih karena pemimpin, petinggi, menteri, kaum agamawan, da’i, wakil rakyat, kaum penulis, intelektual, kita -tanpa kecuali-, merupakan sosok-sosk pemburu upah.
Orang-orang seperti ini hanya mengejar keuntungan dan kepentingan pribadi saja. Mereka akan cukup puas dengan sorak kekaguman, karena hanya itulah yang diinginkan. Demikian juga dengan kaum penulis dan intelektual, yang sering mengkritik pedas pemerintah dalam setiap tulisan dan komentarnya, kepentingan mereka sebenarnya hanya satu, imbalan tulisan atau piagam penghargaan, atau ucapan selamat dan pujian atas kejeniusan dan kepakarannya. Soal komitmen pemberantasan kemiskinan, penyakit dan kebodohan, sama sekali tak masuk agenda perhatian dan pemikiran mereka. Andaikata mereka serius untuk memberantas ketiga hal itu, pastilah mereka tidak akan menyia-nyiakan waktu hanya dengan untaian kata dan menulis saja, sesuatu yang ia sadar betul tidak akan memberikan hasil apa-apa. Mereka akan berusaha memanfaatkan waktu dan tenaganya secara konkret, langsung terjun menolong si fakir, menghibur si sakit, mengajari si bodoh. Tapi mereka sadar betul, jika terjun dalam kerja sosial ini, akan lenyaplah segala pujian dan decak kagum masyarakat yang biasa mereka terima saat menulis kecuali hanya dari si miskin, si bodoh dan si sakit. Masyarakat tak akan memerhatikan sama sekali.
Betapa naifnya para pemegang kekuasaan di negeri ini, mereka terlalu asyik mengkampanyekan perang terhadap kemiskinan, penyakit, dan kebodohan, padahal permasalahan ini tidak perlu diperangi segala. Yang diperlukan dari mereka hanyalah instruksi kebaikan tanpa melupakan dirinya sendiri. Inilah inti permasalahan bangsa ini. Seharusnya, mereka yang mempunyai otoritas pemecah masalah, ikhlas mengulurkan tangan, niscaya ketiga nusuh negara ini akan menyusut dan lari terbirit-birit.
Seandainya manusia mau saling berbagi, si kaya memberikan hak orang fakir, peti-peti kekayaan terselamatkan dari tangan-tangan hina, dan aliran uang tidak dipegang oleh orang buta dan bodoh, maka kebaikan akan merata ke penjuru negeri.
Tapi bagaimana hal itu bisa terwujud di negeri dimana si bodoh justru menjadi pembesar dan si hina menjadi petinggi.
Sungguh malang nasib negara ini!

Sumber : “Izrail” by “Yusuf As Siba’i”
Izrail_1

 
Leave a comment

Posted by on 16 November 2008 in Mushaf-mushaf Dunia

 

Tags: , , ,