Kemaren malem kita membuat janji temu. Di sebuah warteg yang semerbak ikan asin campur bau tetesan keringat hasil jerih payah sepanjang hari. Disini tempat kita bicara lantang dan keras meneriakkan jeritan kelaparan perut dan mengecam janji-janji pemerintah. Di areal bioskop yang dahulu tenar namun sekarang hanya mempertontokan film-film vulgar jaman 60an.
Dekat-dekat pasar ikan yang konon katanya disinilah tempat pembantaian para pahlawan kemerdekaan oleh penjajah Jepang, mengobarkan semangat hidoep atoe mati. Ku lirik jam dinding yang sering ngadat jarummya karena sudah usang, pukul delapan tepat. Ku hela nafas, sudah 38 menit 45 detik engkau telat. Dan itu bukan kamu. Kamu adalah seorang sopir taksi yang disiplin yang selalu cermat menghitung jarak, waktu, dan tentunya juga uang kembalian. Terlambat?!?!? Hemmmm.. itu tak ada dalam kamusmu. (Kamus?? hmm…kamu kan tidak lulus SD).
Sekadar membunuh waktu, sibuk kau melanglang buana berimajinasi dan menghela nafas membaca berita pembunuhan di koran seharga 1000an, ketika itu tergopoh engkau datang. Dengan keringat bercucuran, rambut semrawut, dan nafas ngos-ngosan. Jas hitam berdasi begitu indah cerah sekali pakaianmu, tapi tidak wajahmu. Seulas senyum mempertontonkan gigimu dipaksakan terukir di bibir, tapi aku tahu itu dusta. Aku kan pelanggan setiamu, hafal peta wajahmu seperti aku kenal betul lekuk jerawatku sendiri.
“Enek opo boz?” Tanyaku dengan logat Jawa kental sambil menepuk bahunya, sekedar mencairkan suasana. Ya, suasanya dengan terpaksa mank harus dicairkan. Sahabatku itu datang dengan menyeret aura muram yang mencekam. Seakan aku di datangi malaikat maut terlalu cepat!.
“Ora enek opo2 koq boz, nyante ae,” jawabmu sambil memainkan kunci mobil taksimu dengan gantungan kunci bergambar logo partai politik yang sekarang ketuanya menjadi menteri kita terhormat. Ku raih tangannya dan ku tatap lembut matanya, dan tersadar perasaan jijik orang-orang disekelilingku, sial!! aku bisa-bisa dikira gay (uh..itulah bedanya pandangan masyarakat tentang laki-laki bergandengan tangan dan perempuan saling bergandengan tangan). Ah, mata indahnya memerah, sekaan baru saja tercolok paku payung. Ya Disitu, yang kulihat hanya redup sinar dan pet, mati!. Sial lampu byar pet lagi, pemadaman bergilir, inilah derita rakyat kecil, walopun berbadan besar tapi tetep saja disebut rakyat kecil.
Belum sempat kutanya mengapa, tiba-tiba meluncurlah segala keluh kesah kesal makian dan sumpah serapah melantun dari bibirmu yang di atasnya menempel kumis tipis klimismu. Tentang rekan sekerjanya yang telah menyabotase ide-ide briliannya soal jalur trayek barumu, yang telah memojokkan dalam pelbagai kesempatan mendapatkan penumpang, yang telah juga mencuri kesempatan mendapatkan setoran besar hari ini. Aku memang pernah mendengar bahwa pria rambut panjang itu sunggu berbisa, tapi bukankah itu hidup? Dimana-mana ada saja orang jahat, layaknya pandawa dan kurawa, hitam dan putih, senang dan sedih, virus dan antivirus. kita harus selalu maju saja kan? Namun yang mengguncang hati sahabatku itu ketika pria itu juga mencuri kucing peliharaannya. Pantas saja ia retak, kucing itu sudah dianggapnya sebagai istrinya. Harga diri kawanku hancur sudah. Ia terisak, duh kawan jangan cengeng, seakan memperolok saja, kopi digelasmu mengepulkan asap panasnya.
“Ngombe sek bos kopine, cek ben tenang atine”. Kusorongkan cangkir putih kecil yang mengepul berisi kopi hitam paling pahit sedunia akhirat. Beda denganku yang menikmati air putih hangat yang gratis di warteg ini, kawanku ini lebih mencintai kopi pahitnya. Tapi tak apa lah, sebagai bujang lapuk hanya kopi pahit dan rokok kretek adalah kawan sejati.
Setelah tenang, hendak rasa ini untuk menyampaikan opini. Namun tiba-tiba sekonyong-konyongnya seorang anak kecil dengan ingus naik turun dari hidungnya mendahului bicara. Kenapa pula aku ini, hari apa sih ini, sudah dua kali hendak bicara, namun selalu saja ada yang menyela…
“srrutt…..Ssee..mir.. bang”
Aku menoleh ke arah suara. Keningku berkerut, apa yang mau disemir? Aku kan make sandal jepit butut, beda lagi kanan kirinya, gak tau tertukar dimana tadi. Eh, tapi tiba-tiba terlintas pemikiran. Menolong seorang anak kecil dengan memberikan 2500 rupiah melalui hasil keringatnya tentu mendidik dan sekaligus menolong bukan?. Maka kubilang aja semirin tugu pancoran dunk, sekalian gosokin make balsem soalnya punggungnya capek tu. (#hiperbola? ya itu aku tahu). Ku alihkan pandang ke wajah kawanku tadi, sopir taksi langgananku yang masih menahan pilu. Ku tepuk bahunya lalu kuteriakkan,
“Ah, temanmu yang menyerobotmu itu ibarat jerawat besar, semakin kamu meresponnya, memencetnya, memikirkannya, kamu sendiri pasti akan capek dan lelah. Biarkan saja berlalu, setidaknya itu bisa menjadi hiasan di wajahmu. Dan akhirnya jerawat itu akan bosen dan pergi dengan sendirinya. Datang tak diundang, pergi tak di antar juga”.
Lalu hening, mungkin ia mencerna kata-kataku hingga halus lembut sehingga tinggal ditelan dan dibuang lagi setelah sari-sarinya dihisap terlebih dahulu. Tapi begitu ku lihat senyum di wajahnya, hatiku lega. Ia kembali membalas kata-kataku, “ngomong opo to le!”. kalau tak salah ingat ini hari jumat, berangkat pagi waktunya senam jangan sampai telat, “ayok pak anterin ke kantor..”.
*sebuah cerpen fiksi yang telah ditolak berbagai macam editor novel, tak pernah dipublish di blog manapun karena pasti tidak akan ada yang mau membacanya, bahkan diperjualkan gratis pun tidak ada yg mau meliriknya, huh!*
source : https://www.facebook.com/notes/aulia-pradipta/sahabat-dan-sepatu-coklathmmbukan-bukan-itu-kawan-dan-sandal-jepit-butut/10150105351989797
edited for fun from : (link-nya udah terhapus) a FB’s note from Eka Situmorang